Surabaya - Kegiatan transmigrasi sudah ada sejak jaman Belanda. Namun, di tahun 2022 ini, animo transmigrasi warga seperti di Jawa Timur masih cukup tinggi, mengacu data Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi setempat. Kepala Keluarga telah yang mendaftar program transmigrasi sebanyak 730 KK.
“Memang benar sampai saat ini, yang mendaftar sudah 730 KK dari Kabupaten/Kota. Lebih banyak dibanding tahun 2020, 558 KK, serta 641 KK pada tahun 2021," papar Himawan Estu Bagijo Kepala Disnakertrans, di laman Kominfo Jatim, Kamis (14/4).
Program transmigrasi Pemprov Jatim mulai bergulir pada 2022. Untuk kali ini, sebanyak 63 KK yang akan diberangkatkan menuju Provinsi Sulawesi Selatan (Kabupaten Luwu Timur 10 KK).
Provinsi Sulawesi Tengah (Kabupaten Sigi 7 KK), Provinsi Sulawesi Tenggara (Kabupaten Muna 11 KK, Kabupaten Konawe 10 KK) dan Provinsi Sulawesi Barat (Kabupaten Mamuju Tengah 25 KK).
Program Perpindahan dan Penempatan Transmigrasi Provinsi Jawa Timur tersebut berdasarkan Surat Keputusan Dirjen Pembangunan dan Pengembangan Kawasan Transmigrasi Nomor 47 tahun 2022 tentang perubahan kedua atas keputusan Dirjen PPK Transmigarsi No. 248 tahun 2021 tentang program Pembangunan Permukiman Transmigrasi.
Keluarga transmigran nantinya akan mendapat berbagai fasilitas. Di antaranya penyediaan lahan tempat tinggal, lahan usaha, stimulan sembako, sampai usaha pertanian.
“Begitu mereka sampai di daerah transmigrasi, kita tetap berkomunikasi dan kordinasi. Bila ada hambatan, kami akan tetap berusaha memfasilitasi mencarikan jalan keluarnya,” pungkas Himawan Estu Bagijo.
Zaman Belanda
Transmigrasi sudah ada sejak zaman Pemerintah kolonial Belanda. Mereka rintis kebijakan ini sekitar awal abad ke-19 untuk mengurangi kepadatan di pulau Jawa sekaligus memasok tenaga kerja untuk perkebunan di pulau Sumatra.
Wikipedia menyebut, program tersebut perlahan pudar seiring tahun-tahun berakhirnya masa penjajahan Belanda tahun 1940-an.
Namun, dihidupkan kembali setelah Indonesia merdeka untuk menangkal kelangkaan pangan dan merosotnya kondisi ekonomi pada masa pemerintahan Soekarno, dua puluh tahun setelah Perang Dunia II.
Program transmigrasi pernah mengalami puncaknya pada 1929. Lebih dari 260.000 pekerja kontrak Cultuurstelsel dibawa ke pesisir timur Sumatra, 235.000 orang di antaranya berasal dari pulau Jawa.
Sebagai pendatang, mereka bekerja sebagai kuli, seandainya, salah satu di antara mereka, di tengah jalan minta kontraknya diputus oleh perusahaan (desersi), ia akan dihukum kerja paksa. Tingkat kematian dan penyiksaan di kalangan kuli saat itu sangat tinggi
Setelah Kemerdekaan
Setelah Indonesia merdeka, tahun 1949 di bawah pemerintahan Soekarno, program transmigrasi dilanjutkan dan diperluas cakupannya sampai Papua.
Pada puncaknya antara tahun 1979 dan 1984, 535.000 keluarga (hampir 2,5 juta jiwa) pindah tempat tinggal melalui program transmigrasi.
Dampak demografisnya sangat besar di sejumlah daerah. Misal, pada tahun 1981, 60% dari 3 juta penduduk provinsi Lampung adalah transmigran.
Pada tahun 1980-an, program ini didanai oleh Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia serta negara-negara Barat yang memuji kebijakan anti-komunis Soeharto.
Akibat krisis energi 1979 dan peningkatan biaya transportasi, anggaran dan rencana transmigrasi dipotong.
Pada bulan Agustus 2000 setelah krisis keuangan Asia dan jatuhnya rezim Soeharto, pemerintah Indonesia mulai mengurangi skala program transmigrasi karena sedikitnya anggaran.
Pemerintah Indonesia mengurus program transmigrasi lewat Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi meski skalanya lebih kecil daripada tahun-tahun sebelumnya.
Departemen ini setiap tahunnya memindahkan 15.000 keluarga atau hampir 60.000 orang. Jumlah ini perlahan meningkat seiring bertambahnya anggaran transmigrasi (Rp2,3 triliun) dan target pemindahan (20.500 keluarga) pada tahun 2006.
Sempat Dikritik
Meski tujuan resmi program transmigrasi yang digaungkan adalah untuk mengurangi kemiskinan dan kepadatan penduduk di pulau Jawa, memberikan kesempatan bagi orang yang mau bekerja serta memenuhi kebutuhan tenaga kerja untuk mengolah sumber daya di pulau-pulau lain seperti Papua, Kalimantan, Sumatra dan Sulawesi.
Namun kritik tetap dilayangkan kepada pemerintah, di antaranya transmigrasi memanfaatkan para transmigran untuk menggantikan populasi lokal, dan untuk melemahkan gerakan separatis lokal.
Bahkan, media sempat memberitakan jika program transmigrasi beberapa kali menyebabkan persengketaan dan percekcokan, termasuk juga bentrokan antar pendatang dan penduduk asli setempat.
Syarat Menjadi Transmigran
Dasar hukum yang digunakan untuk program transmigrasi waktu itu adalah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 1997 tentang Ketransmigrasian (sebelumnya UU Nomor 3 Tahun 1972).
Dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Transmigrasi (Sebelumnya PP Nomor 42 Tahun 1973), ditambah beberapa Keppres dan Inpres pendukung.
Berikut syarat untuk menjadi Transmigran:
1. Warga Negara Indonesia adalah setiap warga negara yang berdomisili di wilayah Negara Republik Indonesia.
2. Berkeluarga dibuktikan dengan Surat Nikah dan Kartu Keluarga.
3. Memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP) yang masih berlaku.
4. Berusia antara 18 sampai dengan 50 tahun sesuai dengan Kartu Tanda Penduduk (KTP), kecuali diatur lain dalam perjanjian kerja sama antar daerah.
5. Belum pernah bertransmigrasi yang dibuktikan dengan Surat Keterangan dari Kepala Desa/Lurah di mana pendaftar berdomisili.
6. Berbadan sehat yang dibuktikan dengan Surat Keterangan Dokter.
7. Memiliki keterampilan sesuai kebutuhan untuk mengembangkan potensi sumber daya yang tersedia di lokasi tujuan sebagaimana diatur dalam perjanjian kerja sama antar daerah.
8. Menandatangani Surat Pernyataan kesanggupan melaksanakan kewajiban sebagai transmigran.
9. Lulus seleksi yang dibuktikan dengan Surat Keterangan Lulus dari Tim yang diberikan wewenang untuk melaksanakan seleksi